Rumah Simalungun: Jejak Sejarah dan Arsitektur Unik dari Sumatera Utara
Aku masih ingat banget, waktu pertama kali berdiri di depan Rumah Simalungun. Udara di sekitar dingin-dingin empuk, tipikal tanah tinggi Sumatera Utara, tapi yang bikin aku merinding justru bukan angin, melainkan rasa kagum. Bangunan kayu besar berdiri gagah, atapnya menjulang tinggi dengan ornamen khas yang bikin aku terpaku. Gila… ini rumah? Kayak istana mini versi adat Batak Simalungun!
Jujur, sebelumnya aku cuma pernah dengar selintas soal Culture Rumah Adat Simalungun. Tapi setelah lihat langsung, perasaanku langsung berubah. Bukan cuma indah, tapi sarat makna dan sejarah. Dan di sinilah aku ngerasa penting banget buat cerita soal ini, supaya kamu juga bisa lihat kenapa rumah ini nggak boleh cuma jadi gambar di buku pelajaran doang.
Keindahan Arsitektur Rumah Simalungun: Gagah, Unik, dan Simbolik
Desain rumah ini beda dari rumah adat Batak lainnya. Kalau kamu pernah lihat Rumah Bolon Toba, mungkin sudah kebayang bentuk panggung tinggi dan atap runcing. Nah, Rumah Bolon Simalungun punya atap yang lebih melengkung dan terasa megah, dengan ukiran halus di setiap sisi. Tapi bukan cuma estetika loh. Semua itu punya filosofi Quora.
Salah satu yang aku pelajari: bentuk atap melengkung itu melambangkan pelindungan dari segala penjuru. Kayu-kayunya juga bukan sembarangan. Mereka pakai kayu keras seperti jati atau meranti, dan semuanya disambung tanpa paku—cuma pakai pasak kayu. Gila sih tekniknya. Kokoh banget padahal cuma “diikat”.
Yang paling aku suka? Hiasan gorga di bagian luar dan dalam rumah. Ukirannya mirip simbol alam seperti matahari, ombak, dan ular naga. Warna-warnanya dominan merah, hitam, dan putih. Ternyata tiap warna punya arti sendiri: merah itu keberanian, putih itu kesucian, dan hitam itu keteguhan.
Sebagai pecinta desain, aku ngerasa ini rumah bukan sekadar tempat tinggal. Ini karya seni hidup. Asli. Kalau kamu suka estetika tradisional, Rumah Simalungun ini bakal bikin kamu jatuh cinta.
Mengapa Rumah Simalungun Harus Dilestarikan?
Aku ngerasa ini bagian yang paling penting buat dibahas. Rumah Simalungun itu lebih dari sekadar bangunan tua. Dia adalah saksi bisu peradaban yang sudah ratusan tahun bertahan. Sayangnya, makin ke sini jumlah rumah adat ini makin dikit. Banyak yang dibongkar, dijual, atau ditinggalkan karena dianggap nggak praktis.
Padahal ya… di dalam rumah itu ada sejarah keluarga, ada jejak budaya, dan ada kearifan lokal yang nggak bisa diganti pakai rumah beton modern.
Salah satu bapak penjaga rumah adat yang aku temui di Pematang Raya bilang gini, “Anak-anak muda sekarang lebih senang rumah kotak. Rumah ini dianggap kuno. Padahal ini warisan dari leluhur.” Dan itu bikin aku agak sedih.
Rumah Simalungun bukan cuma buat dipajang di museum atau jadi destinasi wisata. Rumah ini harus tetap hidup. Harus dihuni, atau paling nggak dijaga dengan penuh rasa hormat.
Perjalanan Menuju Rumah Adat Simalungun: Jangan Sampai Tersesat!
Kalau kamu pengen lihat langsung Rumah Adat Simalungun, kamu bisa mampir ke Kabupaten Simalungun di Sumatera Utara. Lokasi yang cukup populer itu di kawasan Pematang Raya atau sekitar Parapat.
Waktu itu aku naik dari Medan. Perjalanan pakai mobil sekitar 4-5 jam tergantung kondisi jalan. Medan–Berastagi–Simpang Sidikalang—rutenya agak berliku, jadi pastikan perut aman kalau kamu gampang mabuk jalan.
Tapi asli, begitu sampai, capeknya langsung hilang. Udara sejuk, pemandangan asri, dan rumah-Rumah Simalungun adat yang masih berdiri di desa-desa kecil. Beberapa rumah adat juga dijadikan museum mini, jadi kamu bisa masuk dan belajar sejarahnya langsung dari pemandu lokal. Jangan ragu buat tanya-tanya. Orang-orang di sana ramah banget, bahkan aku sempat dikasih teh manis sama ibu-ibu yang tinggal dekat situ. Hehe.
Tips dari aku: jangan datang sore-sore karena pencahayaan kurang bagus buat foto, dan bisa dingin banget menjelang malam.
Cara Melestarikan Rumah Simalungun: Mulai dari Hal Sederhana
Aku sempat mikir, “Aku ini bukan orang Simalungun. Apa yang bisa aku lakuin buat bantu ngelestariin rumah adat ini?”
Ternyata, banyak hal kecil yang bisa kita lakukan, dan semuanya berdampak besar kalau dikerjain bareng-bareng.
Kunjungi dan dokumentasikan.
Tiap kali kita datang dan posting di media sosial, itu udah bantu promosi budaya lokal. Jangan lupa tulis caption yang edukatif, bukan cuma “OOTD di rumah adat.”Dukung komunitas lokal.
Ada pengrajin yang bikin miniatur rumah Simalungun, atau batik dengan motif gorga. Beli produk mereka, biar ekonomi budaya tetap hidup.Ikut kampanye pelestarian.
Beberapa komunitas arsitektur dan budaya sering bikin gerakan digital atau open donation buat perawatan rumah adat. Cari tahu di Instagram atau Facebook. Cukup bantu sebarkan aja udah luar biasa.Edukasi anak-anak.
Buat yang jadi orang tua, guru, atau pembimbing—ajarin generasi muda tentang pentingnya warisan budaya. Jangan sampai mereka lebih kenal rumah-rumah di luar negeri daripada rumah adat sendiri.
Aku percaya banget, kalau semua orang mulai dari hal kecil, efeknya bakal luar biasa. Jangan nunggu jadi akademisi atau pejabat budaya dulu buat mulai.
Nilai Sejarah dalam Rumah Simalungun: Ada Cerita di Setiap Sudut
Salah satu hal yang bikin aku makin tertarik sama rumah ini adalah cerita-cerita yang tersembunyi di balik kayu-kayu tua itu. Bukan cuma tempat tinggal, Rumah Simalungun juga jadi pusat aktivitas adat—dari mulai musyawarah, upacara pernikahan, sampai ritual spiritual.
Waktu aku tanya soal sejarahnya, salah satu pemandu bilang kalau rumah ini dulunya dibangun buat raja-raja kecil atau pangulu. Setiap bagian rumah punya fungsi: ruang tamu, dapur, tempat tidur anak-anak, sampai ruang khusus untuk menyimpan barang pusaka.
Oh ya, ada satu hal unik juga: Rumah Bolon Simalungun tidak punya jendela besar. Cahaya cuma masuk dari celah kecil. Alasannya? Karena dulu, rumah ini harus bisa melindungi penghuninya dari serangan luar dan hewan liar. Jadi arsitekturnya memang dibuat fungsional banget buat kondisi zaman dulu.
Bayangin, mereka bisa bikin rumah tahan gempa, tanpa paku, dan dengan teknik lokal. Ini bukti bahwa leluhur kita bukan cuma pintar, tapi juga bijak dan kreatif.
Jangan Sampai Kita Kehilangan Identitas
Setelah dua kali ke Rumah Simalungun dan melihat rumah adat ini dari dekat, aku merasa ada sesuatu yang berubah dalam cara aku melihat budaya sendiri. Dulu mungkin aku cuek. Tapi sekarang, aku sadar bahwa rumah-rumah ini adalah pilar dari identitas kita sebagai bangsa.
Dan kamu tahu? Kalau rumah-rumah ini hilang, bukan cuma kayunya yang lenyap. Tapi seluruh filosofi, cerita, dan warisan pengetahuan akan ikut musnah. Generasi setelah kita mungkin cuma tahu rumah adat dari stiker buku atau wallpaper HP.
Jadi mulai sekarang, yuk lebih peduli. Entah itu dengan datang langsung, ngajarin anak-anak tentang rumah adat, atau bahkan sekadar cerita ke teman, semua itu langkah kecil yang berarti.
Baca juga artikel menarik lainnya tentang Tari Yapong: Keindahan dan Makna dari Gerakan Tradisional Jakarta 2025 disini