Toxic Positivity: Saat Semangat Berlebihan Justru Bikin Kita Malah Ngerasa Berat

Toxic Positivity, dulu aku sempat nggak ngerti banget soal istilah toxic positivity. Aku pikir selama kita selalu berpikir positif dan optimis, ya itu hal baik, kan? Tapi ternyata, terlalu healthy memaksakan diri untuk selalu merasa bahagia atau “baik-baik aja” itu malah bisa jadi wikiepdia racun buat kesehatan mental kita.

Aku pernah ngalamin sendiri nih. Waktu lagi bener-bener down karena pekerjaan yang numpuk dan masalah keluarga yang nggak kelar-kelar, aku coba pura-pura senyum dan bilang ke semua orang, “Aku baik-baik aja kok.” Padahal dalam hati, rasanya remuk redam. Tapi karena takut dianggap lemah atau bikin suasana jadi negatif, aku terus tahan itu semua.

Nah, ini dia yang namanya toxic positivity — kondisi di mana kita terlalu menekan diri buat selalu positif, bahkan saat emosi negatif itu sebenarnya penting untuk diakui dan diproses. Toxic positivity ini bukan cuma soal senyum palsu aja, tapi juga sikap yang nyuruh orang lain buat “move on cepat,” “jangan sedih terus,” atau “lihat sisi baiknya aja” tanpa ngasih ruang untuk validasi perasaan sebenarnya.

Kenapa Toxic Positivity Bisa Jadi Bahaya?

Kalau dipikir-pikir, toxic positivity ini bisa berbahaya banget karena dia menutup ruang buat kita ngerasain dan ekspresiin emosi secara sehat. Padahal, emosi negatif itu bagian dari manusiawi. Misalnya, sedih, kecewa, marah, dan frustasi itu nggak salah. Malah, kalau kita bisa terima dan kelola emosi itu dengan baik, kita bakal lebih kuat dan dewasa.

Toxic Positivity

Dulu aku sempat bingung, kok ya aku bisa merasa makin berat dan capek sendiri padahal tiap hari aku terus bilang “baik-baik aja.” Sampai akhirnya aku sadar kalau aku memaksakan diri untuk terus pura-pura positif, tanpa benar-benar ngasih ruang buat perasaan jujur. Jadi, efeknya malah bikin stres makin numpuk.

Toxic positivity juga bisa bikin kita nggak empati sama diri sendiri dan orang lain. Misalnya, teman yang curhat, bukannya didengerin dan dikasih dukungan yang tulus, malah disuruh “yaudah, jangan dipikirin, semuanya pasti baik-baik aja.” Padahal, kadang yang paling dibutuhkan itu cuma validasi perasaan, bukan solusi cepat.

Pengalaman Pribadi: Belajar Menghadapi Toxic Positivity

Aku inget banget waktu aku pernah cerita ke teman soal masalah yang bikin aku stres berat. Alih-alih dapet dukungan yang hangat, aku malah dibilang, “Ya udah, jangan dipikirin terus, fokus aja sama hal-hal positif.” Sumpah, waktu itu aku merasa kayak dibuang dan gak didengerin.

Toxic Positivity

Waktu itu aku jadi makin ngerasa sendiri dan frustrasi karena aku cuma pengen didengerin, bukan disuruh cepat-cepat move on. Dari situ aku mulai belajar, bahwa toxic positivity itu nggak cuma soal perasaan sendiri, tapi juga soal gimana kita bersikap ke orang lain. Kadang, niatnya pengen nguatkan, tapi malah bikin orang lain makin tertekan.

Pelajaran penting yang aku dapet adalah: gak apa-apa kok buat merasa sedih atau marah. Yang penting, kita punya cara sehat buat mengekspresikan itu semua. Misalnya, aku mulai belajar menulis jurnal harian buat luapin emosi dan mikir jernih, atau ngobrol sama teman dekat yang beneran paham aku tanpa ngasih judgment.

Tips Menghindari Toxic Positivity yang Bikin Kamu Tertekan

Kalau kamu juga pernah ngerasa kayak aku, kayak dipaksa buat selalu happy padahal hati lagi nggak enak, coba deh beberapa tips ini:

  1. Terima dulu perasaanmu, jangan dipaksa diubah secepatnya.
    Kadang kita pengen buru-buru “baik-baik aja,” tapi kenyataannya butuh waktu buat proses rasa sakit atau kecewa. Coba bilang ke diri sendiri, “Aku lagi gak oke, dan itu wajar.”

  2. Cari ruang aman untuk ekspresikan emosi negatif.
    Misalnya, ngobrol sama teman yang bisa dipercaya, nulis diary, atau bahkan curhat ke profesional. Jangan simpen semua sendiri.

  3. Jangan takut bilang “aku gak mau denger kata-kata positif kalau aku belum siap.”
    Kamu berhak untuk minta orang lain buat dengerin dulu, bukan langsung kasih solusi atau motivasi yang bikin kamu makin ngerasa gak dipahami.

  4. Kenali tanda-tanda toxic positivity di sekitar kamu.
    Kalau ada yang sering bilang “ayo senyum aja,” “jangan sedih terus,” “positive vibes only,” tapi kamu malah merasa tertekan, itu tanda toxic positivity. Kamu boleh menjauh atau atur batas supaya nggak kepengaruh negatif.

  5. Praktikkan self-compassion.
    Artinya, perlakukan diri sendiri dengan penuh kasih dan pengertian, sama seperti kamu menghibur teman yang lagi sedih. Self-compassion ini penting banget supaya kamu nggak keras sama diri sendiri.

Toxic Positivity di Dunia Digital: Media Sosial dan “Hidup Bahagia” yang Dipaksakan

Nah, nggak cuma di kehidupan nyata, toxic positivity juga sering muncul di media sosial. Aku pernah scroll timeline dan lihat postingan orang-orang yang kelihatan “selalu happy,” “selalu sukses,” dan “hidup tanpa masalah.” Awalnya aku juga pengen kayak gitu, tapi lama-lama malah bikin minder dan ngerasa hidupku kurang.

Toxic Positivity

Yang bikin pusing, kita jadi merasa harus tampil sempurna di medsos, seolah nggak boleh ada sedih, gagal, atau masalah. Padahal, itu gak realistis. Semua orang punya masalah, cuma kadang nggak semua orang mau pamer.

Kalau kamu juga ngerasa terjebak toxic positivity di medsos, coba deh ingat: medsos itu cuma highlight reel, bukan keseluruhan cerita. Jangan bandingin dirimu sama yang kelihatan sempurna. Fokus aja ke kesehatan mental dan kebahagiaanmu sendiri.

Kesimpulan: Boleh Positif, Tapi Jangan Sampai Toxic!

Setelah ngelewatin pengalaman sendiri, aku jadi paham banget pentingnya keseimbangan antara berpikir positif dan mengakui emosi negatif. Toxic positivity itu nyata dan bisa bikin kita makin tertekan kalau kita nggak hati-hati.

Jadi, yuk mulai sekarang kita belajar untuk jujur sama diri sendiri dan orang lain. Kalau lagi gak oke, bilang aja. Kalau lagi butuh didengerin, minta aja. Ingat, positif itu bagus, tapi gak berarti harus pura-pura terus-terusan.

Kalau kamu lagi berjuang menghadapi toxic positivity, aku kasih semangat buat kamu. Kamu gak sendiri, kok. Banyak yang juga lagi belajar supaya hidupnya lebih sehat dan bahagia, tanpa harus menekan diri.

Baca Juga Artikel Ini: Asam Lambung: Penyebab, Gejala, dan Cara Mengatasinya Secara Efektif

Author