KTT Pembangunan Dunia: Tentang Masa Depan Kita 2025
Jujur aja, dulu saya pikir KTT Pembangunan Dunia semacam ini—yang skalanya internasional dan penuh diplomat itu—nggak ada hubungannya sama hidup saya yang cuma berusaha bayar tagihan dan jaga dapur tetap ngebul. Tapi persepsi itu berubah total ketika saya mulai mendalami isu-isu keberlanjutan. Terutama saat saya nyemplung ke dunia konten seputar gaya hidup berkelanjutan.
Saya pertama kali baca soal KTT Pembangunan Dunia Berkelanjutan Dunia waktu iseng cari tahu soal perubahan iklim. Waktu itu, saya baru sadar: ternyata banyak kebijakan dan inisiatif lingkungan nasional yang akarnya berasal dari pertemuan global kayak KTT Pembangunan Dunia ini. Dari situlah saya mulai serius belajar soal sustainable development goals (SDGs), Agenda 21, dan dokumen-dokumen kayak “The Future We Want” dari Rio+20.
Dan makin saya pelajari, makin terasa dekat. Kayak waktu saya tahu bahwa salah satu hasil KTT Pembangunan Dunia di Johannesburg 2002 itu ngebahas soal akses air bersih dan sanitasi. Eh, di kampung saya sendiri, itu masih jadi masalah besar. Jadi bener-bener nyata—bukan cuma konsep internasional yang mengawang.
KTT Global, Tapi Dampaknya Dekat Banget ke Kehidupan Kita
Saya Salah Kaprah: Dulu Ngira Ini Cuma Panggung Politik
Saya sempat skeptis. “Ini semua kan cuma pertemuan elit. Isinya pidato, janji, habis itu lupa.” Tapi waktu saya ikut salah satu webinar yang bahas KTT Pembangunan Dunia Rio+20 dan progresnya ke SDGs 2030, saya mulai paham: memang nggak semua janji langsung jadi aksi, tapi ada framework yang bener-bener dipakai negara-negara buat bikin kebijakan.
Contohnya? Di KTT Rio 1992, muncul ide tentang Agenda 21. Saya sempat anggap itu cuma daftar panjang hal yang nggak akan kejadian. Tapi kemudian, saya lihat kota-kota di Indonesia mulai adopsi prinsip green city. Bahkan sekolah anak saya pun udah mulai terapkan kurikulum “eco-school” kecil-kecilan. Semua itu ada kaitannya ke dokumen-dokumen dan kesepakatan internasional.
Satu pelajaran besar dari sini: perubahan itu nggak instan. Tapi butuh panggung besar untuk mulai bicara. Dan KTT Pembangunan Dunia ini jadi salah satu alat paling penting buat menyamakan visi jangka panjang. Jadi ya, saya salah besar waktu anggap ini sekadar seremoni.
Pelajaran Berharga: Pembangunan Itu Harus Adil Buat Semua
Salah satu momen paling berkesan waktu saya baca laporan KTT Pembangunan Dunia Pembangunan Berkelanjutan 2012 (Rio+20) adalah soal pentingnya “inclusivity.” Bahasa kerennya sih ekonomi hijau yang inklusif. Tapi intinya: pembangunan yang berkelanjutan itu harus ngelibatin semua pihak—terutama yang rentan.
Dulu saya pikir, kalau negara maju udah hemat energi dan daur ulang, ya udah beres. Tapi ternyata nggak sesimpel itu. Negara berkembang kayak Indonesia punya tantangan beda. Misalnya, saya tinggal di pinggiran kota yang masih belum punya pengolahan sampah terpusat. Di sisi lain, pemerintah dorong gaya hidup minim sampah.
Bayangin, kita disuruh zero waste, tapi infrastruktur daur ulangnya belum siap. Di sinilah saya makin sadar: kebijakan dan strategi dari KTT ini harus “turun” dan adaptif. Dan ini jadi pelajaran buat saya juga, supaya nggak cuma ikut-ikutan tren, tapi juga mendorong perubahan di tingkat lokal.
Dari Global ke Lokal: Apa yang Bisa Saya Lakukan?
Saya mulai tanya ke diri sendiri, “Oke, saya ngerti pentingnya KTT Pembangunan Dunia dan semua target global itu. Tapi saya bisa ngapain, sebagai orang biasa?”
Jawabannya ternyata lumayan banyak. Saya mulai dari hal kecil: bawa tumbler, kurangi kantong plastik, dan beli produk lokal. Tapi saya juga mulai ngonten soal keberlanjutan, nulis blog, dan ikut komunitas diskusi tentang SDGs.
Salah satu kebiasaan baru saya adalah nge-track target SDGs pribadi. Misalnya, saya fokus ke SDG #12 (Konsumsi dan Produksi yang Bertanggung Jawab). Saya catat berapa banyak sampah plastik rumah saya per bulan dan cari cara buat nuruninnya. Aneh? Mungkin. Tapi ini cara saya ngasih kontribusi nyata, walau kecil.
Dan jujur, sejak itu saya merasa lebih “punya arah” dalam gaya hidup saya. Saya tahu, saya bukan cuma jadi konsumen pasif dari kebijakan besar, tapi ikut jadi bagian dari solusi.
Frustrasi? Pasti. Tapi Nyerah Bukan Pilihan
Di tengah semangat, kadang muncul juga rasa frustrasi. Terutama waktu lihat laporan-laporan yang bilang kalau target SDGs 2030 bisa gagal total kalau tren saat ini terus berlanjut. Saya ngerasa kayak, “Loh, kita udah usaha segini banyak, masa tetap nggak cukup?”
Tapi kemudian saya sadar, ini bukan soal hasil instan. Ini soal legacy. KTT ini adalah langkah-langkah kecil yang kalau dikumpulkan, bisa ubah arah sejarah. Dan yang bisa saya lakukan adalah terus belajar, terus bersuara, dan terus dorong orang di sekitar saya buat lebih peduli.
Saya juga belajar untuk realistis tapi tetap optimis. Bahwa bahkan kalau saya nggak lihat hasil besar dalam hidup saya, mungkin anak-anak saya akan hidup di dunia yang sedikit lebih baik karena apa yang kita mulai hari ini.
KTT Bukan Solusi Ajaib, Tapi Titik Awal Penting
Akhirnya, saya sampai pada satu kesimpulan pribadi: KTT Pembangunan Berkelanjutan Dunia itu bukan solusi akhir. Tapi dia jadi trigger buat gerakan yang lebih besar. Tanpa kesepakatan global ini, banyak kebijakan nasional bakal jalan sendiri-sendiri, tanpa arah dan koordinasi.
Saya bersyukur bisa belajar dan ikutan diskusi, meski dari jauh. Bahkan, saya mulai mikir: mungkin suatu hari saya bisa hadir di salah satu forum regional yang bahas SDGs secara langsung. Siapa tahu?
Yang jelas, sekarang saya paham bahwa isu lingkungan dan pembangunan berkelanjutan bukan cuma urusan negara, tapi urusan kita semua. Karena perubahan itu, seringkali dimulai dari dapur kita sendiri.
Beberapa Highlight Hasil KTT yang Signifikan
Berikut ini beberapa hasil nyata dari KTT Pembangunan Dunia Berkelanjutan Dunia (baik dari awal sampai yang terbaru) yang secara global dianggap penting:
🟢 KTT Stockholm 1972
-
Menjadi tonggak awal munculnya kesadaran global soal hubungan antara lingkungan dan pembangunan.
-
Munculnya UNEP (United Nations Environment Programme) yang sampai sekarang jadi badan utama PBB dalam urusan lingkungan.
🟢 KTT Rio de Janeiro 1992 (Earth Summit)
-
Lahirnya Agenda 21, sebuah dokumen aksi global yang masih sering dijadikan acuan pembangunan lokal dan nasional.
-
Penandatanganan UNFCCC (kerangka kerja PBB tentang perubahan iklim) → cikal bakal terbentuknya Protokol Kyoto & Paris Agreement.
-
Munculnya Konvensi Keanekaragaman Hayati dan Prinsip Kehati-hatian dalam pembangunan.
🟢 KTT Johannesburg 2002
-
Menghasilkan Johannesburg Plan of Implementation: fokus ke pengentasan kemiskinan, air bersih, dan energi berkelanjutan.
-
Mendorong aksi nyata bukan cuma dari negara, tapi juga sektor swasta dan LSM.
🟢 KTT Rio+20 (2012)
-
Muncul dokumen “The Future We Want”, yang memperkuat prinsip pembangunan berkelanjutan dan mendasari lahirnya Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs).
-
Konsep ekonomi hijau mulai dimasukkan sebagai pendorong utama pertumbuhan.
🟢 KTT SDGs (New York, 2015)
-
Resmi disepakatinya 17 Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs) yang berlaku untuk seluruh negara anggota PBB hingga 2030.
-
SDGs menggantikan MDGs (Millennium Development Goals) dan mencakup aspek lebih luas: lingkungan, sosial, dan ekonomi.
🟢 KTT SDGs 2023 (High-level Political Forum, New York)
-
Evaluasi paruh waktu SDGs → hasilnya: progres lambat dan banyak target terancam gagal.
-
Seruan keras untuk “rescue plan for people and planet” agar dunia kembali ke jalur pencapaian target 2030. https://sdg.iisd.org/events/sdg-summit-2023/
Apakah Semua Hasilnya Positif?
Enggak juga. Saya jujur aja, ada banyak kritik juga kok dari hasil-hasil KTT ini. Beberapa di antaranya:
-
Implementasi lemah. Banyak negara tanda tangan, tapi enggan atau lambat dalam eksekusi.
-
Ketimpangan. Negara maju cenderung lebih cepat maju, sedangkan negara berkembang (termasuk kita) masih tertatih-tatih.
-
Komitmen jangka pendek. Pemerintah kadang berubah arah tergantung politik, padahal pembangunan berkelanjutan butuh waktu panjang.
Jadi, Apa Nilai Penting dari KTT Pembangunan Dunia Ini?
Kalau menurut saya pribadi setelah ngulik cukup banyak, nilai utamanya adalah:
-
KTT menciptakan arah global. Kita jadi tahu ke mana dunia ingin melangkah.
-
Mendorong koordinasi antarnegara. Bayangin kalau semua negara jalan sendiri-sendiri tanpa kesepakatan?
-
Membangun kesadaran masyarakat. Termasuk kita, yang mungkin dulu cuek, sekarang mulai ikut mikir soal isu global.
Dan yang paling terasa: banyak program lokal, termasuk di Indonesia, lahir dari dorongan atau pembelajaran hasil KTT Pembangunan Dunia ini.
Apa Yang Saya Akan Lakukan Selanjutnya
KTT Pembangunan Dunia Saya nggak tahu apakah dunia bisa capai semua target SDGs 2030 tepat waktu. Tapi saya tahu, saya punya peran. Saya bakal terus nulis soal ini, ngobrol sama orang-orang tentang pentingnya keberlanjutan, dan dukung kebijakan lokal yang pro-lingkungan.
Saya udah lihat sendiri, bagaimana hasil KTT Pembangunan Dunia bisa berubah jadi kurikulum sekolah, kebijakan pemerintah daerah, atau bahkan jadi gerakan warga kampung. Dan saya yakin, kalau kita semua ngambil langkah kecil, perubahan besar itu mungkin.
Jadi kalau kamu baru mulai peduli soal ini, saran saya: jangan tunggu jadi ahli. Cukup mulai dari rasa penasaran. Karena dari rasa penasaran itu, kamu bisa ikut bantu menyelamatkan masa depan.
Baca Juga Artikel Terkait: Ravioli: Keunikan dan Keistimewaannya dalam Dunia Kuliner
Baca Juga Dengan Artikel Terkait Tentang: News